KOCLOCK

Wayang kulit purwa merupakan salah satu jenis wayang Jawa yng paling popular daripada wayang madya, gedhog, klithik, golek, wakyu, sadat, dan lain-lain. Hal ini disebabkan antara lain oleh karena: 1) wayang kulit purwa merupakan prototipe jenis wayang Jawa, 2) wiracarita Ramayana Mahabharata yang menjadi repertoar wayang kulit purwa telah lama dikenal di kalangan masyarakat Jawa, 3) tema dan atau jenis lakon wayang purwa yang lebih beragam, 4) alur dan garapan ceritanya selalu dapat mengakomodasi secara aktual berbagai kecenderungan yang berkembang di masyarakat, dan 5) jumlah tokoh wayang kulit purwa lebih banyak dan karakternya lebih beragam. Oleh karena itu wayang kulit purwa dijadikan frame of reference masyarakat dari masa ke masa.

Masuknya Islam membawa perubahan besar bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Begitu juga wayang mengalami masa pembaharuan besar-besaran. Tidak saja dalam bentuk dan cara pertunjukan, melainkan juga isi dan fungsinya. Bentuk wayang yang semula realistik proporsional yang tertera di candi-candi distilasi menjadi bentuk imajinatif seperti yang kita kenal sekarang. Pertunjukan wayang juga mengalami perubahan dengan penambahan gamelan, kelir, blencong dan debok. Pertunjukannya juga berubah menjadi sarana dakwah Islam serta pendidikan dan pesan-pesan moral. Dengan demikian pertunjukan wayang tidak saja sebagai tontonan tetapi juga sebagai tuntunan.

Sejak mengalami perombakan besar-besaran pada pemerintahan Sultan Demak –dari presentasi realistik menjadi karya seni figuratif dengan penampilan ideoplastik (penggambaran yang didasarkan atas apa yang diketahui, bukan apa yang dilihat)- figur wayang kulit purwa seakan-akan telah mengalami stagnasi bentuk. Berbagai kalangn menilai bahwa figur wayang kulit purwa kini telah mencapai bentuk yang sempurna (klasik, adiluhung) sehingga tidak dapat diubah semena-mena. Jika terdapat perubahan, maka yang terjadi adalah perubahan semu pada wanda wayang. Munculnya berbagai wanda wayang kulit pada hakikatnya terbatas pada tunduk tengadahnya roman muka, tinggi-pendek dan atau pendek kurusnya postur serta perubahan aksesoris semata, sedangkan bentuk figuratif secara menyeluruh pada masing-masing tokoh wayang masih tetap sama sehingga mudah dikenali.

Masalahnya wayang tidak bisa melulu merujuk pada bentuk, melainkan bagaimana spirit wayang mempu menjawab tantangan perubahan zaman, berdialog dengan laju pertumbuhan peradaban, teknologi, gaya hidup, nilai sosial, ruang dan wacana kebudayaan kontemporer.

Masyarakat bertumbuh, dan mengapa bukan wayang yang melakukan kontemporerisasi dengan spirit yang eksis. Bukankah kekinian adalah sejarah yang berjalan, sebuah tradisi yang membangun. Apakah tidak mungkin muncul “wayang” yang lahir dalam bentuk dan dalam habitat yang baru.

Karena seniman tidak hanya berfungsi sebagai subjek personal, tetapi juga subjek kolektif. Sebagai subjek kolektif, seniman tentu terikat oleh latar sosial-budayanya yang khas sehingga nilai identitas lokalnya akan selalu terbawa serta. Pada lain sisi, kondisi budaya Indonesia bersifat plural dan multikultural. Dikatakan plural karena terdapat beraneka ragam budaya lokal, sedangkan dialog antarbudaya lokal selalu terjadi dan memunculkan situasi multikultural.

Situasi plural dan multikultural itu sebenarnya modal seniman dalam proses kreatifnya. Sebab, sebagai subjek personal, seniman bebas dalam mengekspresikan diri. Akan tetapi, dia juga terikat oleh situasi kolektivitasnya. Dengan demikian, seniman senantiasa berada dalam tegangan antara kebebasan berekspresi dan keterikatan budaya sebagai sebuah situasi yang potensial bagi munculnya kreativitas.

Koclock-nya Jumari dan Kelompoknya

Berangkat dari kenyataan tersebut, Jumari, seorang dalang muda potensial dari Sragen, mencoba mencairkan kebekuan itu. Masih dengan tetap meminjam kerangka bentuk wayang purwa, ia mengadopsi esensi permasalahan yang dirasakan dan dihadapinya sebagai pelaku seni wayang, dan mencoba mengekspresikan kerja solutifnya.

Ia lahir dari generasi sekarang, pada tahun 80-an ketika budaya televisi mulai merangsek masuk dalam kehidupan, yang mengadopsi berbagai masukan unsur dari luar dalam kesehariannya: unsur yang kadang tak hanya berbahasa jawa ndeles, krama inggil dan adiluhung, akan tetapi sekaligus profan, nakal bahkan barangkali hanya “permukaan”. Hal ini dipercayainya sebagai sebuah keniscayaan yang harus dihadapinya sebagai manusia Jawa di jaman modern ini.

Pada saat yang sama, ia menyadari dirinya sebagai bagian dari homo ludens, manusia yang kerap kali bermain dengan diri pikirannya sendiri, pun dengan segala sesuatu yang bersentuhan dengannya. Berbekal pengalaman berkolaborasi dengan etnomusikolog Jonathan Lim dari AS, musisi Ceko Olga Petivoka, seniman Slamet Gundono, Subono, Joko Porong ataupun Yayat Suhariyatna sebagai contoh, kerja kreatifnya menjadi beragam, kaya dan bernas.

Tidak jatuh semata pada euforia ragam pementasan wayang yang memang sedang in seperti wayang elektrik, wayang sandosa, ataupun jenis wayang lainnya, ia menyasar pihak yang paling berkepentingan di masyarakat yang selama ini sering dikhawatikan menjadi pihak paling rentan tereduksi kesadaran budaya Indonesianya, akan tetapi pada saat yang sama sebenarnya tidak begitu dirawat juga oleh para seniman yang mengkhawatirkannya. Mereka adalah para generasi muda.

Selama ini terobosan wayang selalu menyasar pada kata “masyarakat” akan tetapi, kadang tidak disebutkan titik mana yang paling rentan. Masyarakat adalah kesatuan kompleks yang tak berbilang. Jumari menyadari, justru dengan adanya sebuah titik sasaran yang terpilih dengan jitu, permasalahan krusial yang sedang dihadapi kelanjutan hidup wayang, memang sedang diperjuangkan keberlangsungannya.

Ia memandang bahwa remaja sebagai bagian potensial dari masyarakat (dirinya juga selalu merasa sebagai remaja) saat ini adalah makhluk a-historis. Setiap harinya mereka dihadapkan pada gempuran modernisasi yuang selalu berasal dari Barat, adonan makanan yang ditelan mentah-entah tanpa dikunyah substansi dan maksudnya, akan tetapi pada saat yang sama, salah satu kaki mereka berpijak pada lumpur tradisi yang kadang asing bagi mereka. Percakapan anak muda daerah (seperti di Solo) kini bergaya lu, gue, cafe, party. Akan tetapi pada saat yang sama, ketika pulang ke rumah, mereka harus berbahasa krama kepada orangtua mereka, tanpa paham maksud dan konteksnya. Kadang hal ini bahkan dimaknai sebagi laku otoriter dan eksploitatif terhadap mereka. Pemahaman yang separuh ini menjadikan semangat rebellion yang mereka sering dengar (dan adopsi kemudian dalm laku keseharian), muncul hanya sepotong-sepotong, hanya sampai pada tataran citra. Itu barangkali sebabnya pada kasus tertentu, mahasiswa seni kerap kali berpakaian nyeleneh, antik dan nyentrik, tanpa memahami sebuah identitas makna dan ideologi yang memang pada dasarnya, mendasarinya.

Kesadaran semacam ini coba diadopsi Jumari dan kelompoknya. Tetap berpegang pada rambu-rambu etika dan estetika pegelaran wayang, ia coba mendekati wayang dalam nada-nada “pop”. Hal ini tercermin dalam ekspresi seninya: semua pemain juga bisa menjadi dalang, antawecana (percakapan dalam wayang) bisa muncul dari mereka (dengan bahasa keseharian), karawitan diganti dengan nada-nada diatonis atau yang bisa juga muncul dari alat musik populer seperti biola, gitar, suling Cina, pun juga jalan cerita yang mengangkat tema kontemporer dalam adonan wayang (seperti contoh episode Wisanggeni dalam Mahabharata coba didekati dalam konteks kekinian).

Jumari dan kelompoknya juga­­ tidak meninggalkan local wisdom yang selama ini justru menjadi embrio kegelisahannya: merespon bahaya global warming, ia mengadopsi kekuatan calung (alat musik dari bambu) dan kentongan menyatu dalam sajian. Ia membela, mengadopsi dan merivitalisasi eksistensi marginal (yang dihadapi) kesenian calung. Darinya Jumari dan keompoknya, mencipta bentuk alat musik dari bambu yang ia sebut pringsilan. Tidak semata jatuh pada parodi nama bagian, maaf, alat kelamin pria, ia mengartikannya sebagai pring (bambu) bilah sembilan.

Kesemuanya dirangkum dan diekspresikan dalam semangat bermain, jenaka dan cair dalam suasana pementasan yang dekat, akrab dan merakyat. Itulah sebabnya Jumari dan kelompoknya menyebut sajian ini sebagai sebuah WAYANG KOCLOCK. Menurutnya, Koclok dalam terminologi Jawa adalah saat dimana seseorang berada pada posisi yang penuh dengan ide-ide besar yang tak tertampung dalam ekspresinya, oleh karenanya (sebenarnya) kontemplatif, akan tetapi kadang, disadari, memang tidak populer, daianggap aneh dan asing, marginal, meski berdaya ledak besar sebagai sebuah ekspresi seni. Jumari dan kelompoknya bahkan mempunyai rumusan tertentu tentangnya. Koclock adalah Kumpulnya Orang-orang Cerdas (dalam) Laku Olah (dan) Cara Kabudayan, jelasnya.

Maka dalam laku kreatif kelompok ini selanjutnya, mereka merancang sebuah bentuk estetis wayang yang mereka gunakan. Wayang akan menampilkan sosok dan image Nusantara: berwajah tiga dimensi dan berlukis simbol-simbol (pakaian, ornamen, gesture dan ekspresi) kebudayaan Indonesia. Maka akan kita dapati wayang berupa “lazimya” orang Ponorogo berkaos garis merah, bercelana gombrong hitam dengan sabuk dan tali putih besar menjuntai, lengkap dengan kumis dan cambang tebal nan sangar. Inilah wayang BHINNEKA, demikian Jumari dan kelompoknya, menyebutnya. Kekayaan ragam budaya Nusantara itu perlu direvitalisasi, demikian maksudnyua, rupanya.

Penciptaan ini pada dasarnya bertujuan ingin membangun image baru tentang tokoh-tokoh pewayangan. Pada masa sekarang, pertunjukan wayang disamping sebagai hiburan juga bisa dipakai sebagai sarana dan wahana promosi serta kritik sosial maupun politik. Jumari nyentrik, nakal serta kadang saru, punya cara tersendiri untuk hal itu. Karena itulah ia mempunyai tempat tersendiri dihati penggemarnya terutama kalangan muda. Dengan demikian ia telah mencipta sebuah andil nyata dalam pengembangan dan pelestarian budaya wayang.

Kalau sekarang generasi penerus kita sudah tidak mengenal nama-nama tokoh wayang, lalu siapa yang akan nanggap kesenian ini dua puluh tahun ke depan? Lebih luas lagi dalam waktu lebih lama dengan cara dan melalui sarana apa wayang tetap lestari?

Koclock-nya Indonesia?

Kesenian tidak hanya menjadi cermin masyarakat, melainkan cermin dari keinginan-keinginan masyarakat. Tidak mengherankan, kesenian muncul karena selera pasar. Namun, satu hal yang masih perlu diperjuangkan dalam berkesenian adalah menjaga komitmen agar kesenian terus-menerus memperjuangkan universalitas nilai, tidak membabi buta dikendalikan pasar yang berdampak pada keringnya tontonan (baca: kesenian) sebagai sebuah tuntunan.

Toh, dalam perkembangannya, kesenian memang harus menerima kritikan lantaran pluralitas masyarakat melihat dalam perspektif yang berbeda. Dalam lingkungan kesenian itu sendiri, muncul upaya me-manage secara komersial untuk membaca situasi jaman yang berubah. Hal ini ternyata disadari, sehingga kesenian (seni pertunjukan) kemudian menjadi bentuk suguhan yang berdaya pikat tinggi. Dengan kesadaran seperti inilah wayang Koclock dibuat.

Hal ini dimaksudkan untuk merevitalisasi wayang, untuk mengembalikan identitas atau alternatif identitas di era sekarang yang cenderung menuju kebudayaan yang instant dan seragam. Intelektualitas subyektif para pelaku seni dalam berbagai bentuk keseniannya sedianya mampu mentransformasi spirit tersebut dalam artikulasi artistik masing-masing dengan memperhatikan ruang, audiens dan mampu membangun kembali memori kolektif masyarakat tentang wayang dalam berbagai media, agar menjadi warisan pusaka generasi mendatang.

Karena pada dasarnya wayang mempunyai landasan yaitu hamot, hamong, hamemangkat yang menyebabkan wayang mempunyai daya tahan dan daya kembang sepanjang zaman. Hamot berarti keterbukaan menerima pengaruh dan masukan dari dalam dan luar. Hamong adalah kemampuan menyaring unsur-unsur baru yang sesuai dengan nilai-nilai wayang yang selanjutnya bisa diangkat menjadi nilai tambah sebagai bekal wayang untuk dapat menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Hamemangkat adalah memangkat sesuatu menjadi nilai baru.

Masyarakat kita adalah masyarakat yang bergerak amat cepat, yang dengan cukup dramatis berusaha melepas isolasi-isolasi subkulturnya, yang sedang membuat satu Negara kesatuan dari sekian subkultur dan membuat Negara kesatuan-masyarakat yang sedang mengalami pembauran yang hebat antar subkultur, antarkultur dan antar nilai-nilai. Wayang Koclock bisa disebut sebagai sebuah contoh mutakhir.


nDalem Kaandran,

senja awal Juli

Enhanced by Zemanta

Komentar